Kali ini topik yang ingin saya sampaikan adalah tentang “gendongan”. Lets define it first, ok? Gendongan adalah perilaku menggendong bayi, baik dengan atau tanpa fasilitas gendongan seperti jarit atau alat gendongan lain yang lebih modern (Swasti, 2011).
Mengapa bahasan ini begitu penting untuk saya angkat? Karena hal ini menarik untuk dikaji dari sisi kultural dan dianalisis menggunakan ilmu psikologi yang saya pelajari selama ini di bangku sekolah. Seperti “menabrakkan” dua kultur yang berbeda 😀
Baiklah… Saya akan menuliskan statemen yang biasanya kita dengar di masyarakat (mungkin anda sering mendengarnya dari ibu, ayah, mertua, pakdhe, budhe, bulik, paklik, tetangga, famili, kenalan, atau siapapun yang ada di sekitar anda), terutama yang berlatar belakang budaya Jawa. Saya tidak berani melakukan generalisasi budaya karena saya memang tidak melakukan riset yang mengarah pada hal tersebut. Jadi, tulisan ini murni berdasarkan pengalaman dan hasil pengamatan saya pribadi 😀
AAAAH, NGGAK PAPA DIGENDONG, MASIH KECIL INI…
Eitss…jangan salah! Bayi ibarat kertas putih. Di saat kita menganggap dia tidak mengerti apa-apa dan tidak dapat mempelajari apapun, justru saat itu lah dia mencatat banyak hal. Ketika dia merasa aman dan nyaman dalam gendongan, maka ia akan cenderung memintanya lagi dan lagi…
AAAHH, NGGAK PAPA, KAN CUMAN MINTA DIGENDONG…APA SUSAHNYA SIH?
Susahnya…jika perilaku minta gendong berkembang menjadi perilaku maladaptif lain yang membuat anak menjadi pribadi yang tergantung (dependent personality) pada orang tuanya. Hal ini juga terkait dengan kelekatan (attachment) pada orang tua, terutama ibu. Atau bisa juga pengasuhnya, kalau sang ibu bekerja.
Johnson (2004 dalam Kok & Smith, 2006) mencatat ada 10 konsep mengenai teori kelekatan (attachment theory) yaitu: (a) Kelekatan adalah kekuatan pendukung (motivational force) yang berasal dari dalam diri, (b) ketergantungan yang aman melawan otonomi, (c) kelekatan menimbulkan perasaan aman, (d) kelekatan memberikan dasar rasa aman, (e) akses emosi dan tanggung jawab akan mengukuhkan ikatan, (f) rasa takut dan kondisi ketidakpastian memunculkan kebutuhan akan kelekatan, (g) proses tekanan karena perpisahan dapat diprediksi, (h) pola perasaan tidak aman dapat diidentifikasi, (i) kelekatan melibatkan proses peniruan (modelling) untuk diri sendiri dan orang lain, (j) isolasi, kesendirian, dan kehilangan akan menimbulkan trauma.
Bowlby (dalam Kok & Smith, 2006) mengkonsepkan kelekatan sebagai sistem perilaku yang memotivasi bayi untuk mencari dukungan dari pengasuhnya ketika bayi menghadapi kondisi stres. Tujuan dari sistem ini adalah agar bayi merasa aman dan dapat bertahan. Kemampuan membangun bentuk kelekatan dengan orang lain sangat penting untuk kesehatan mental individu dan proses adaptasi sosialnya.
Pada kasus normatif, hal ini meyakinkan dan menguatkan bayi, serta menyediakan sisi fundamental dari kehangatan psikologis dan rasa aman pada bayi. Proses kelekatan memberikan dukungan pada pengembangan strategi adaptif yang diperlukan untuk regulasi kondisi emosi, misalnya: pencarian dukungan, aktivasi pemikiran positif, pengaturan perhatian, dll.
Terlalu lekat dengan figur lekat dapat menyebabkan bayi/anak menjadi sulit untuk lepas, dan dapat memicu munculnya kecemasan karena perpisahan (separation anxiety disorder) ketika usia sudah lebih besar. Anda tentunya sering menemui anak preschool atau TK yang minta ditunggui oleh ibunya selama berada di sekolah? Atau bayi/toddler yang tidak mau diajak orang lain selain orang tuanya?
MEMANGNYA KENAPA DENGAN GANGGUAN KECEMASAN INI? BAYI-BAYI/ANAK-ANAK YANG LAIN DIGENDONG TERUS JUGA NGGAK PAPA TUH…
Apakah kita bisa tahu dengan persis bagaimana perkembangan anak orang lain? Apakah kita bisa terus memantau dan membandingkan perkembangan anak kita dengan anak orang lain? APalagi untuk urusan psikologis yang tak kasat mata, tentunya perbandingan semacam ini cenderung mustahil untuk dilakukan. APakah kita bisa seketika memperbandingkan kepribadian individu yang satu dengan lainnya?
Kecemasan yang terkait dengan ketakutan akan perpisahan dengan figur lekat disebut gangguan ansietas perpisahan (GAP) atau separation anxiety disorder (SAD) (Daads, dkk., 2000). Beberapa simtom GAP antara lain: ketakutan bahwa akan ada kejadian buruk yang akan menimpa figur lekat, penolakan untuk pergi sekolah atau meninggalkan rumah, mengaku / mengeluh sakit yang tidak didukung oleh bukti medis, mimpi buruk dengan tema perpisahan, menolak untuk sendiri (ingin selalu bersama figur lekat). Untuk memenuhi kriteria tersebut, anak harus menunjukkan minimal 3 simtom dalam kurun waktu 4 minggu (Daads, dkk., 2000).
Sebelum lebih jauh menentukan diagnosis, menurut saya, kita perlu tahu faktor resiko dan faktor protektif terlebih dahulu. Faktor resiko dapat didefinisikan sebagai variabel yang, jika muncul/ada pada individu, akan membuat individu menjadi lebih riskan mengalami gangguan, dibandingkan individu lainnya yang tidak memiliki variabel tersebut. Faktor resiko untuk gangguan kecemasan antara lain: temperamen, pola intergenerasional dalam keluarga (intergenerational patterns), lingkungan keluarga (family environments), gaya kelekatan yang dipenuhi kecemasan (anxious attachment style). Faktor protektif adalah faktor yang dapat memodifikasi pengaruh dari faktor resiko dengan membantu, menolong, meningkatkan, atau melindungi individu dalam menghadapi ancaman lingkungan. Faktor protektif antara lain: kemampuan penyesuaian yang fleksibel (resilience), harapan masa depan yang positif (positive future expectations), dan keterampilan pemecahan masalah (problem solving skills) (Daads, dkk., 2000). Analisis faktor resiko dan faktor protektif akan disampaikan pada bagian prognosis.
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa GAP merupakan faktor resiko yang sangat kuat (78,6%, n=816) untuk menimbulkan gangguan mental selama masa dewasa awal. Keadaan rentan yang mungkin timbul adalah gangguan panik dan depresi. Klinisi harusnya lebih peka terhadap munculnya GAP dan anak-anak dan remaja yang mengalami GAP harus segera ditangani. (Lewinsohn, dkk., 2008). Bagaimana dengan kita, orang tua?
SAYA NGGENDONG KARENA SAYA SAYANG…
Ada banyak cara untuk mengungkapkan rasa sayang dan perhatian kita kepada buah hati, tidak harus selalu dengan cara menggendongnya kemana-mana.
Saya pernah menjumpai seorang anak berusia 3 tahun dengan berat badan 25kg minta gendong sama ibunya dan dikewer-kewer kemana-mana. Saya ketemunya di Puskesmas sewaktu saya membawa anak saya untuk imunisasi. Anak itu rewel nggak mau turun. Hmmm… bagaimana pendapat anda?
Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk menunjukkan kasih sayang, antara lain dengan sentuhan di punggung/tangan, pelukan, elusan di kepala, mendongengkan cerita, mengajak beraktivitas bersama, kalau untuk bayi ya diajak bermain (dikudang, dililing; red_bhs Jawa).
AH, KEBIASAAN GENDONG KAN NANTI BISA HILANG SENDIRI…
Dengan hukum probabilitas, jawabannya bisa iya, bisa juga tidak. Sebuah perilaku yang sudah menetap cenderung sulit untuk dimodifikasi apalagi jika tertanam sejak usia dini. Mungkin perilaku gendong bisa hilang, namun dampak psikis dari perilaku tersebut akan tercatat dalam memori anak, terutama jika sudah berkembang menjadi ciri kepribadian tergantung (dependent personality) seperti yang saya singgung di atas.
SO, daripada main tebak-tebak buah manggis tentang bagaimana nanti jadinya anak kita, lebih baik kita perlu belajar untuk peka sedari kini, bukan?
BERARTI NGGAK BOLEH NGGENDONG NIH?
Boleh. Saya berpendapat bahwa gendongan punya prinsip sama seperti obat. Harus ada dosis dan aturan pakai yang ketat. Pertama, karena kita berniat menanamkan jiwa mandiri dan nilai disiplin pada anak sedini mungkin, bukan? Kedua, jangan sampai perilaku yang kita atasnamakan kasih sayang justru menjadi bumerang bagi proses tumbuh kembang anak.
Bagi saya, gendongan adalah hak istimewa anak. Disebut istimewa karena tidak setiap saat ia berhak mendapatkannya. Ada saat anak memang butuh digendong, misalnya: saat ia sakit, saat ia menangis (ini pun harus dipertimbangkan mengantuk karena apa, silakan baca 10 Sebab Bayi Menangis), atau saat bepergian/jalan-jalan.
Intinya, kita harus bijak menerapkan perilaku ini.
Begitulah…
Sumber:
- Dadds, M., Seinen, A., Roth, J. & Harnett, P. 2000. Early intervention for anxiety disorders in children and adolescents. Vol. 2 in R. Kosky, A. O’Hanlon, G. Martin & C. Davis (Series Eds.), Clinical approaches to early intervention in child and adolescent mental health. Adelaide: The Australian Early Intervention Network for Mental Health in Young People http://auseinet.flinders.edu.au/files/resources/auseinet/anxiety.pdf
- Kok, Mun Ng & Smith, S.D. 2006. The Relationships between Attachment Theory and Intergenerational Family Systems Theory. The Family Journal: Counseling and Therapy for Couples and Families, Vol. 14(4): 430-440
- Lewinsohn, P.M., Holm-Denoma, J., Small, J.W., Seeley, J.R., Joiner, T.E. 2008. Separation Anxiety Disorder in Childhood as a Risk Factor for Future Mental Illness. Journal of the American Academy of Child & Adolescent Psychiatry. Vol. 47 (5): 548-555, diakses melalui http://www.jaacap.com/pt/re/jaacap/abstract.00004583-200805000-00012.htm