Dilema Daycare

Ibu-ibu bekerja pasti sudah akrab ya dengan lembaga satu ini, kecuali yang punya nanny khusus di rumah..

Nah, saya adalah pemain baru. Baru 2 hari mencoba melatihkan anak saya masuk daycare karena dia mau saya tinggal bekerja. Hiiii… Agak sulit memang mencari daycare yang deket tempat kerja dan bersedia menerima anak usia di bawah 2 tahun. Anak saya sekarang 20 bulan. Nah, ketemua satu pilihan -hanya ada SATU- yang memenuhi kriteria tersebut. Saya mengambil pilihan itu, pada akhirnya.

Yang membuat saya merasa tidak nyaman saat ini karena kebiasaan di daycare tersebut yang memakaikan popok sekali pakai (pospak) pada anak-anak, dan sepertinya tidak -atau belum?- melatihkan toilet training bahkan pada anak usia diatas 3 tahun! Lha anak saya ini nggak pernah pakai pospak sejak bayi je.. gimana dong? dia juga sudah ngerti kalau mau pipis/pup. Tapiiiiiiiiii… masalahnya, memang selama ini saya sendiri yang meng-handle si bocah.. orang lain kan belum tentu mau serepot saya ngurusin dia.. ya itu kalau dibilang repot yah..

BTW, saya jadi mikir, duluuuuuuuuuu.. sebelum pospak atau dispossable diapers itu menjamur dan semua ibu-ibu berlomba-lomba memakaikannya pada anak bayinya, orang-orang jaman dulu kayaknya ya biasa-biasa aja ya anaknya nggak pake pospak itu.. apa karena sekarang sudah merasa sangat terbantu dengan pospak yang murah itu ya? dibandingkan dengan kerepotan melatih toilet training, pospak jauh lebih meringankan beban ibu dan beban para caregivers/nanny/prt?

Hmmm…. Ya sudah.. mau gimana lagi, memang sudah masanya anak saya masuk daycare.. kadang yo kok merasa bersalah ya, demi ambisi ibunya untuk berkarir, anak ini menjadi “korban”…

Tapi, ah.. saya mikir juga, mungkin kenyataan kondisi yang terjadi besok, bisa saja tidak seseram yang saya bayangkan 🙂 Mungkin, ada caregiver yang nggak sesinis yang kemarin saya temui, yang masih mau “direpotin” ngurus anak tanpa pospak 🙂

Amin.. 😀

btw, saya jadi mikir lagi… apa saya ini termasuk ibu yang aneh ya, kalau nggak ngikutin trend ibu-ibu sekarang? Menjadi outlyer gitu.. kan kalau di kurve normal, termasuk yang nggak normal 😦

Yah, things changed.. nggak tahu deh..

Berdoa aja semoga besok, anak lanang bisa beradaptasi dengan baik.. at least selama 5 bulan ajah di sana.. semoga begitu sampai 2 tahun dia bisa pindah ke daycare kampus yang melarang anak pakai pospak 😀

Amiin 😀

Me TIME?

Hmmm…

Awal kisah bermula dari “kegagalan” rencana saya nyalon.

Hmmmmmmm…

Ada sedikit perasaan sedih karena tidak punya banyak waktu lagi untuk mengurus diri sendiri setelah kehadiran anak. Tidak sempat baca buku, tidak sempat pergi ke tempat-tempat favorit semasa bujang (termasuk kongkow di coffee shop), tidak sempat lagi nyalon, tidak sempat lagi sekedar mandi dengan tenang…

Hahahhahahaaaa… agak lebay nih jadinya…

emak-emak yang lain pernah ngalamin yang kayak gini nggak ya?

 

Tapi…

kemudian rasionalisasi saya berkata:

Tidak selamanya anak saya jadi bayi yang menyusu sama emaknya… jadi harusnya saya menikmati masa-masa dia menyusu sekarang karena somehow, suatu saat nanti saya akan merindukan kebiasaan dia nempel di dada saya seperti yang sekarang ini dia lakukan. Betul kan?

Anyhow, harus segera ada coping strategy untuk mengatasi ini…

Partner saya -a.k.a laki-laki yang bertitel suami- belum pede kalau saya pasrahin si bayi untuk sementara saya tinggal pergi. He says: “Aku nggak tahu musti gimana kalau dia nangis trus pengen ngempeng.” Oh.. wokee…

Jadi, all things yang termasuk dalam folder “kebutuhan pribadi-benar-benar-pribadi” harus masuk waiting list dulu yaaaa… that’s what all moms will do -I think. *Oh Tuhan kuatkan hati saya!*

 

 

Childhood precursors of psychopathy

Psychopathic tendencies can sometimes be recognized in childhood or early adolescence. If recognized, a diagnosis of Conduct Disorder, or possibly the related Oppositional Defiant Disorder, may be given. However, while these childhood signs have been found in a significantly higher proportion of psychopaths than in the general population, it must be stressed that not all the subjects of such childhood diagnoses turn out to be psychopaths as adults, or even disordered at all. Therefore, psychopathy is not normally diagnosed in children or adolescents, and some jurisdictions explicitly forbid diagnosing minors with psychopathy and similar personality disorders. This is because such a diagnosis “fails to capture the emotional, cognitive, and interpersonality traits — egocentricity and lack of remorse, empathy, or guilt – that are so important in the diagnosis of psychopathy.”

Children showing strong psychopathic precursors often appear immune to punishment; nothing seems to modify their undesirable behavior. Consequently parents usually give up, and the behavior worsens.

The following childhood indicators are to be seen not as to the type of behavior, but as to its relentless and unvarying occurrence. Not all must be present concurrently, but at least a number of them need to be present over a period of years. These indicators are sufficient – but not necessary – indicators of possible psychopathy.

  • An extended period of bedwetting past the preschool years, not due to any identified medical problem.
  • Precocious sadism, often expressed as cruelty to animals.
  • Pathological firesetting, lacking in obvious homicidal intent. Not to be confused with playing with matches, which is not uncommon for preschoolers. This is the deliberate setting of destructive fires with utter disregard for the property and lives of others.
  • Lying, often without discernible objectives, extending beyond a child’s normal impulse not to be punished. These lies are so extensive it is often impossible to know lies from truth.
  • Theft and truancy.
  • Aggression towards peers and relatives. The aggression can include physical and verbal abuse, getting others into trouble, or a campaign of psychological torment.

The three indicators — bedwetting, cruelty to animals and firestarting, known as the Macdonald triad — were first described by J.M. MacDonald as “red flag” indicators of psychopathy and future episodic aggressive behavior.However, subsequent research has found that bedwetting is not a significant factor.The question of whether young children with early indicators of psychopathy respond poorly to intervention, compared to conduct-disordered children without these traits, has only recently been examined in controlled clinical research. The empirical findings from this research have been consistent with broader anecdotal evidence, pointing to poor treatment outcomes.Many of the above characteristics can be paralleled in bullying at school and elsewhere.

In his 1941 book, Mask of Sanity, Hervey M. Cleckley introduced 16 behavioral characteristics of a psychopath:

  1. Superficial charm and good “intelligence”*
  2. Absence of delusions and other signs of irrational thinking*
  3. Absence of nervousness or psychoneurotic manifestations*
  4. Unreliability
  5. Untruthfulness and insincerity
  6. Lack of remorse and shame
  7. Inadequately motivated antisocial behavior
  8. Poor judgment and failure to learn by experience
  9. Pathologic egocentricity and incapacity for love
  10. General poverty in major affective reactions
  11. Specific loss of insight
  12. Unresponsiveness in general interpersonal relations
  13. Fantastic and uninviting behavior with drink and sometimes without
  14. Suicide threats rarely carried out*
  15. Sex life impersonal, trivial, and poorly integrated
  16. Failure to follow any life plan.

*These characteristics have since been depreciated.

Source: http://en.wikipedia.org/wiki/Psychopathy

 

Baby Blues

Review Jurnal

Judul               :

Depression Prevalence and Incidence Among Inner – City Pregnant and Postpartum Women.

Peeliti            :

Stevan E. Hobfoll & Christian Ritter (Kent State University), Justin Lavin (Akron City Medical Center and Northeastern Ohio Universities College of Medicine), Michael R. H & Rebecca P. C (Kent State University)

 

Permasalahan :

Depresi pada masa hamil dan persalinan memiliki konsekuensi penting pada ibu dan bayinya. Penelitian mengenai kehamilan dan depresi telah meningkat pesat, namun hanya sedikit dari penelitian tersebut yang menganalisa fenomena depresi selama masa kehamilan dan persalinan pada perempuan miskin (Steer, Scholl, & Beck, 1990). Diyakini bahwa status sosial – ekonomi (SSE) rendah dan kesukuan terkait dengan depresi klinis, tapi mayoritas penelitian pada populasi ini berdasarkan pengukuran self – report terhadap suasana hati atau gejala depresif.

Banyak factor yang menyumbang terjadinya gangguan mental pada masyarakat dengan SSE rendah, diantaranya adalah peristiwa pemicu stress kronis dalam kehidupan sehari-hari dengan frekuensi tinggi, kurangnya kontrol diri saat stressor muncul, ketidakmampuan menghadapi pengaruh negatif peristiwa penyebab stress yang meningkat. Gender adalah faktor resiko lain yang menyebabkan depresi, yang didiagnosa lebih tinggi pada perempuan dibanding laki-laki. Pada perempuan dengan SSE rendah konsekuensi depresi secara potensial lebih parah daripada perempuan pada SSE yang lebih tinggi. Kemiskinan membuat kehidupan menjadi serba terbatas dan memicu depresi, termasuk ketidakmampuan membayar pelayanan kesehatan anak.

Kehamilan dan masa persalinan adalah masa resiko tinggi terjadinya depresi. Terdapat bukti yang menegaskan adanya hubungan antara SSE dengan deperesi yang terkait dengan kehamilan. Pada sebuah penelitian di Inggris, ditemukan bahwa kehamilan banyak dikaitkan dengan keadaan distress terutama pada perempuan kelas menengah tapi tidak ada penelitian yang menerangkan status pasangan atau keadaan depresinya selama dan setelah masa kehamilan pada kelompok SSE manapun, dan perempuan lajang yang menjadi orang tua tunggal tidak diikutsertakan dalam analisis.

Tinjauan umum penelitian ini adalah meningkatkan pengetahuan akan kelaziman dan keberadaan depresi dikaitkan dengan kehamilan dan persalinan pada perempuan dengan SSE rendah. Tujuan utama penulis adalah mendokumentasikan pengalaman depresi klinis perempuan dengan tingkat SSE rendah selama masa kehamilan dan persalinan.dalam penelitian ini juga dicari apakah ada faktor demografi lainnya yang berpengaruh pada tingkat depresi mereka.

 

Metode :

1.      Partisipan

Sebanyak 252 orang perempuan direkrut selama 2,5 tahun, tapi hanya 192 orang yang benar-benar mengikuti penelitian secara utuh. Perempuan yang berpartisipasi adalah mereka yang (a) berusia antara 17 – 40 tahun, (b) berada pada minggu ke-16  sampai dengan minggu ke-24 masa kehamilan, dan (c) bebas dari komplikasi medis yang serius saat diterima sebagai partisipan. Rata-rata usia partisipan adalah 24,5 tahun. Partisipan diambil dari populasi etnis African – American dan European – American karena populasi etnis yang lain jumlahnya terlalu sedikit.

2.      Prosedur

Partisipan mengikuti 3 kali wawancara, sekali pada trimester kehamilan kedua, sekali pada trimester ketiga (diperkirakan 7 atau 9 minggu sebelum hari persalinan yang diharapkan), dan sekali  pada 7 atau 9 minggu setelah hari persalinan yang diharapkan. Partisipan memperoleh imbalan untuk masing-masing sesi wawancara sebesar $10, $15, dan $20. partisipan yang berpartisipasi utuh berhak untuk memperoleh satu set TV melalui pengundian.

3.      Instrumen

Depresi klinis diukur selama 3 kali wawancara dengan menggunakan Schedule for Affective Dissorders and Schizophrenia (SADS) versi yang telah dimodifikasi. Diagnosis gangguan afeksi (mayor dan minor) dibuat berdasarkan Research Diagnostic Criteria (RDC). Sebagai perbandingan, untuk depresi mayor diagnosis juga dibuat berdasarkan Diagnostic and Statistic Manual of Mental Dissorders 3rd Ed (DSM – III). Disini juga digunakan Beck Depression Inventory (BDI), aitem 1 – 14, memeriksa simtom somatik pada masa kehamilan, misalnya simtom gangguan tidur atau kesulitan makan seperti sering dilaporkan oleh perempuan hamil yang tidak mengalami depresi.

 

Hasil :

1.      Analisis awal : peneliti memperbandingkan validitas kontruk RDC dengan BDI. Hasilnya menunjukkan kemampuan RDC untuk membedakan secara adekuat hasil skor BDI kedalam kriteria-kriteria tertentu. Hal ini memberikan dukungan pada pengaplikasian RDC sebagai alat diagnostik yang valid.

2.      Kelaziman terjadinya depresi sebelum dan sesudah masa persalinan à z-test pada perbedaan antara dua proporsi (mengalami depresi sebelum persalinan dan sesudah persalinan) menunjukkan bahwa terdapat kemunculan depresi sebelum persalinan secara signifikan meningkatkan kemungkinan pada timbulnya depresi setelah persalinan.

3.      Bagaimana keluarga dan karakteristik demografik berpengaruh pada status diagnostik depresi à tidak terdapat variable demografis yang secara signifikan menunjukkan status diagnostic depresi selama masa kehamilan atau persalinan

4.      Bagaimana keluarga dan karakteristik demografik berpengaruh pada timbulnya status depresi persalinan (dalam ketidakadaan depresi sebelum persalinan) : tidak terdapat pengaruh yang signifikan baik dari keluarga atau faktor demografis lainnya yang terhadap timbulnya kasus depresi.

 

Diskusi :

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengindentifikasi kelaziman dan keberadaan depresi selama masa kehamilan dan setelah persalinan pada sampel suku bangsa gabungan (African – American dan European – American) yang secara ekonomi termasuk kelompok masyarakat miskin. Pada tiga pengukuran ditemukan rerata depresi lebih dari dua kali lebih besar dibanding laporan yang diperoleh dari  kelompok masyarakat menengah. SSE rendah merupakan status resiko signifikan untuk depresi berkaitan dengan kehamilan dan persalinan. Depresi sebelum persalinan juga merupakan status resiko signifikan untuk depresi setelah persalinan.

Sebagaimana diharapkan, depresi klinis tidak dipengaruhi oleh variabel keluarga dan demografis dalam sampel masyarakat miskin dengan penghasilan rendah. Satu-satunya faktor keluarga tambahan yang berkontribusi pada depresi adalah kurangnya perhatian pasangan. Faktor ini hanya ditemukan pada masa selama kehamilan. Status sebagai orang tua tunggal merupakan penyebab tambahan timbulnya depresi. Perempuan lajang juga mengalami konflik keluarga yang meningkat dengan mengalami kehamilan tapi mungkin dapat memperoleh penerimaan dan bantuan setelah anaknya lahir.

Fakta bahwa faktor keluarga dan faktor demografis lainnya, termasuk status etnik/suku bangsa, tidak berpengaruh pada timbulnya depresi menegaskan bahwa kemiskinanlah yang merupakan faktor utama penyebab depresi.

 

Tanggapan:

Hasil perdebatan sosial mengenai pengaruh keluarga berantakan adalah asumsi bahwa perkawinan merupakan faktor protektif bagi perempuan hamil namun penelitian ini menunjukkan bahwa pilihan gaya hidup yang lain, hidup bersama misalnya, juga memberikan fungsi perlindungan/protektif. Penelitian yang akan datang seyogyanya mecari tahu bagaimana bentuk hubungan yang berbeda-beda memberikan bentuk dukungan yang berbeda pula. Dalam penelitian ini, peneliti mencari tahu lebih jauh pada status hubungan terkait dengan timbulnya depresi pada perempuan miskin tapi tidak memfokuskan pada persepsi dari dukungan tersebut, dimana pada dasarnya keduanya sama-sama merupakan faktor yang penting.

Perhatian lebih harus ditujukan pada penggeneralisasian hasil penelitian yang menyangkut status etnik. Terdapat bukti lain bahwa kemiskinan lebih berpengaruh dalam timbulnya depresi daripada status kesukuan. Tapi sebagaimana diketahui, kelompok African – American berada pada kelas yang lebih rendah dalam kehidupan social dibandingkan dengan kelompok European – American. Dengan demikkian, sering nampak bahwa  kelompok African – American lebih miskin daripada kelompok European – American.

Hasil wawancara juga mungkin kurang valid karena adanya bias pada interviewer. Interviewer harus benar-benar terlatif, dapat menggali informasi seobjektif mungkin, mengesampingkan pandangan rasial. Dalam penelitian ini seharusnya disertakan pula sampel dari kelompok SSE menengah sebagai pembanding agar kita tahu perbedaan-perbedaan apa saja yang timbul antara kedua tingkat SSE tersebut sehubungan dengan timbulnya depresi selama masa kehamilan dan persalinan.

 

 

Sumber:

Journal of Consulting and Clinical Psychology, 1995, Vol. 63, No. 3, p. 445 – 453.

Review oleh: Idei K. Swasti, M.Psi, Psikolog

 

Menjalin komunikasi efektif dengan anak

Anak-anak tidak akan pernah belajar bagaimana menggunakan kata-kata kecuali mereka mendengar dari orang tuanya…

Ingat, anak-anak adalah spons. Mereka belajar dari kehidupan mereka. Anda mengajari anak-anak, baik anda sadar atau tidak, dan apakah anda yakin mereka mendengar atau tidak. Mereka menyerap setiap kata yang keluar dari mulut anda, meniru bahasa tubuh anda, dan merangkumnya.

BAGAIMANA BERBICARA PADA ANAK ANDA…

Komunikasi efektif langsung dimulai ketika bayi lahir, ketika anda menatap matanya dengan cinta dan kebahagiaan, dan dari mulut anda keluar kalimat penuh puja. Mata bayi belum mampu melihat secara terfokus, tetapi dari suara dan sentuhan lembut tangan anda, mereka tahu anda jatuh bangun mencintainya…

BICARA PADA BAYI — bayi sudah memiliki kecerdasan meski belum bisa berkata-kata. Mulailah bicara dengan kalimat lengkap kepada bayi anda seakan-akan mereka sudah besar. Semakin awal anda bicara dengan jelas kepada anak anda, semakin cepat anak anda memahami kata-kata dan memulai proses bahasa.

BAGAIMANA MENDISPLINKAN BAYI TANPA HARUS PANIK…

Ketika bayi anda yang berusia 7 bulan mulai senang memukul, itu normal. Bayi bukan memukul karena marah tetapi dia hanya berusaha mencari tahu ruang yang ia miliki dan belajar bagaimana dunia bekerja.

Bila dia memukul wajah anda, apa yang anda lakukan? Anda dapat memegang tangannya yang baru saja memukul anda dengan lembut dan berkata, “Tidak boleh begitu, nak.” kemudian taruhlah tangannya tadi ke wajah anda, belaikan secara perlahan dan katakan, “yang lembut, yang lembut, anak pintar.” Inilah komunikasi. Lakukan berulang-ulang kali.

Jangan menganggap perbuatan anak yang membuat kekacauan sebagai suatu hal yang lucu hanya karena anak anda masih kecil dan menggemaskan.

Latihkan kedisplinan sejak awal dan bersikaplah konsisten pada anak.

TEKNIK DASAR UNTUK BERBICARA PADA ANAK…

© Turunkan tubuh anda setinggi anak. Duduk atau berlutut, pilih mana yang nyaman buat anda.

© Tatap matanya. Ini penting sekali. Jika perlu palingkan kepala anak dengan tangan anda—dengan lembut, supaya dia menatap langsung kepada anda.

© Jika anak sangat marah, usap punggung atau perutnya dengan usapan pengakuan. Anda tidak perlu memeluk atau menarik anak anda ke dekat anda ketika anda sedang berbicara, kecuali anak benar-benar histeris dan perlu ditenangkan. (Kalau itu yang terjadi, biarkan si anak tenang sebelum memulai percakapan apapun. Minta anak menarik nafas dan bantu dia melakukannya — ini biasanya sangat membantu)

© Ubah nada suara anda. Berkatalah dengan suara yang tegas tapi lembut. Suara serius adalah suara yang tidak pada nada tinggi atau berteriak.

© Berikan kata-kata kepada anak untuk membatunya dalam percakapan. Anda bisa memulai percakapan dengan mengatakan sesuatu yang jelas tampak.

Contoh:

“Kamu keliahatan kesal”

“Coba kasih tahu ibu/ayah apa yang membuat kamu kesal”

“Kamu marah karena apa?”

© Ulangi apa yang dikatakan oleh anak. Ini menunjukkan pada mereka bahwa anda benar-benar mendengarkan.

 

© Jangan menyela. Biarkan anak menyampaikan apa yang ada di benaknya. Katakan kalau anda mengerti. Kalau mereka menyela ketika anda berbicara, katakana “Ayah/ibu mengerti, tapi biarkan ayah/ibu selesai bicara dulu, kemudian giliranmu bicara.”

© Tetaplah tenang, betapapun bergejolaknya hati anda!

AJARI ANAK UNTUK BERNAPAS

Ketika anak kecil sedang kesal atau sedih, katakan padanya untuk bernapas, dia akan melakukan itu.

Menarik napas akan mengalihkan perhatian mereka dengan cepat. Hal itu membantu meredakan tangis mereka karena sangat sulit untuk menangis dan bernapas secara sadar pada saat yang bersamaan. Mengatur pernapasan secara sadar juga sangat bagus bagi orang tua. Orang tua juga tidak bisa berteriak dan bernapas teratur secara bersamaan.

Berikut ini cara melakukannya:

  1. Katakan, “Tarik napas, tarik napas, rileks, pelan..”
  2. Tarik napas panjang dan peragakan anda melakukan itu. Ajak anak melakukan hal yang sama.
  3. katakan, “Buang napas.”
  4. Kunci bibir anda, tarik napas panjang, dan pastikan anak melihat anda melakukan hal itu.
  5. Terus bernapas perlahan dan teratur hingga anak tenang kembali.
  6. Mengatakan “rileks” atau “tenang” berulang kali akan sangat membantu.

Sumber:

Carol, D. & Reid, S. Nanny 911. Jakarta: Mizan

Takgendong kemana-mana

Kali ini topik yang ingin saya sampaikan adalah tentang “gendongan”. Lets define it first, ok? Gendongan adalah perilaku menggendong bayi, baik dengan atau tanpa fasilitas gendongan seperti jarit atau alat gendongan lain yang lebih modern (Swasti, 2011).

Mengapa bahasan ini begitu penting untuk saya angkat? Karena hal ini menarik untuk dikaji dari sisi kultural dan dianalisis menggunakan ilmu psikologi yang saya pelajari selama ini di bangku sekolah. Seperti “menabrakkan” dua kultur yang berbeda 😀

Baiklah… Saya akan menuliskan statemen yang biasanya kita dengar di masyarakat (mungkin anda sering mendengarnya dari ibu, ayah, mertua, pakdhe, budhe, bulik, paklik, tetangga, famili, kenalan, atau siapapun yang ada di sekitar anda), terutama yang berlatar belakang budaya Jawa. Saya tidak berani melakukan generalisasi budaya karena saya memang tidak melakukan riset yang mengarah pada hal tersebut. Jadi, tulisan ini murni berdasarkan pengalaman dan hasil pengamatan saya pribadi 😀

AAAAH, NGGAK PAPA DIGENDONG, MASIH KECIL INI…

Eitss…jangan salah! Bayi ibarat kertas putih. Di saat kita menganggap dia tidak mengerti apa-apa dan tidak dapat mempelajari apapun, justru saat itu lah dia mencatat banyak hal. Ketika dia merasa aman dan nyaman dalam gendongan, maka ia akan cenderung memintanya lagi dan lagi…

AAAHH, NGGAK PAPA, KAN CUMAN MINTA DIGENDONG…APA SUSAHNYA SIH?

Susahnya…jika perilaku minta gendong berkembang menjadi perilaku maladaptif lain yang membuat anak menjadi pribadi yang tergantung (dependent personality) pada orang tuanya. Hal ini juga terkait dengan kelekatan (attachment) pada orang tua, terutama ibu. Atau bisa juga pengasuhnya, kalau sang ibu bekerja.

Johnson (2004 dalam Kok & Smith, 2006) mencatat ada 10 konsep mengenai teori kelekatan (attachment theory) yaitu: (a) Kelekatan adalah kekuatan pendukung (motivational force) yang berasal dari dalam diri, (b) ketergantungan yang aman melawan otonomi, (c) kelekatan menimbulkan perasaan aman, (d) kelekatan memberikan dasar rasa aman, (e) akses emosi dan tanggung jawab akan mengukuhkan ikatan, (f) rasa takut dan kondisi ketidakpastian memunculkan kebutuhan akan kelekatan, (g) proses tekanan karena perpisahan dapat diprediksi, (h) pola perasaan tidak aman dapat diidentifikasi, (i) kelekatan melibatkan proses peniruan (modelling) untuk diri sendiri dan orang lain, (j) isolasi, kesendirian, dan kehilangan akan menimbulkan trauma.

Bowlby (dalam Kok & Smith, 2006) mengkonsepkan kelekatan sebagai sistem perilaku yang memotivasi bayi untuk mencari dukungan dari pengasuhnya ketika bayi menghadapi kondisi stres. Tujuan dari sistem ini adalah agar bayi merasa aman dan dapat bertahan. Kemampuan membangun bentuk kelekatan dengan orang lain sangat penting untuk kesehatan mental individu dan proses adaptasi sosialnya.

Pada kasus normatif, hal ini meyakinkan dan menguatkan bayi, serta menyediakan sisi fundamental dari kehangatan psikologis dan rasa aman pada bayi. Proses kelekatan memberikan dukungan pada pengembangan strategi adaptif yang diperlukan untuk regulasi kondisi emosi, misalnya: pencarian dukungan, aktivasi pemikiran positif, pengaturan perhatian, dll.

Terlalu lekat dengan figur lekat dapat menyebabkan bayi/anak menjadi sulit untuk lepas, dan dapat memicu munculnya kecemasan karena perpisahan (separation anxiety disorder) ketika usia sudah lebih besar. Anda tentunya sering menemui anak preschool atau TK yang minta ditunggui oleh ibunya selama berada di sekolah? Atau bayi/toddler yang tidak mau diajak orang lain selain orang tuanya?

MEMANGNYA KENAPA DENGAN GANGGUAN KECEMASAN INI? BAYI-BAYI/ANAK-ANAK YANG LAIN DIGENDONG TERUS JUGA NGGAK PAPA TUH

Apakah kita bisa tahu dengan persis bagaimana perkembangan anak orang lain? Apakah kita bisa terus memantau dan membandingkan perkembangan anak kita dengan anak orang lain? APalagi untuk urusan psikologis yang tak kasat mata, tentunya perbandingan semacam ini cenderung mustahil untuk dilakukan. APakah kita bisa seketika memperbandingkan kepribadian individu yang satu dengan lainnya?

Kecemasan yang terkait dengan ketakutan akan perpisahan dengan figur lekat disebut gangguan ansietas perpisahan (GAP) atau separation anxiety disorder (SAD) (Daads, dkk., 2000). Beberapa simtom GAP antara lain: ketakutan bahwa akan ada kejadian buruk yang akan menimpa figur lekat, penolakan untuk pergi sekolah atau meninggalkan rumah, mengaku / mengeluh sakit yang tidak didukung oleh bukti medis, mimpi buruk dengan tema perpisahan, menolak untuk sendiri (ingin selalu bersama figur lekat). Untuk memenuhi kriteria tersebut, anak harus menunjukkan minimal 3 simtom dalam kurun waktu 4 minggu (Daads, dkk., 2000).

Sebelum lebih jauh menentukan diagnosis, menurut saya, kita perlu tahu faktor resiko dan faktor protektif terlebih dahulu. Faktor resiko dapat didefinisikan sebagai variabel yang, jika muncul/ada pada individu, akan membuat individu menjadi lebih riskan mengalami gangguan, dibandingkan individu lainnya yang tidak memiliki variabel tersebut. Faktor resiko untuk gangguan kecemasan antara lain: temperamen, pola intergenerasional dalam keluarga (intergenerational patterns), lingkungan keluarga (family environments), gaya kelekatan yang dipenuhi kecemasan (anxious attachment style). Faktor protektif adalah faktor yang dapat memodifikasi pengaruh dari faktor resiko dengan membantu, menolong, meningkatkan, atau melindungi individu dalam menghadapi ancaman lingkungan. Faktor protektif antara lain: kemampuan penyesuaian yang fleksibel (resilience), harapan masa depan yang positif (positive future expectations), dan keterampilan pemecahan masalah (problem solving skills) (Daads, dkk., 2000). Analisis faktor resiko dan faktor protektif akan disampaikan pada bagian prognosis.

Sebuah penelitian menyebutkan bahwa GAP merupakan faktor resiko yang sangat kuat (78,6%, n=816) untuk menimbulkan gangguan mental selama masa dewasa awal. Keadaan rentan yang mungkin timbul adalah gangguan panik dan depresi. Klinisi harusnya lebih peka terhadap munculnya GAP dan anak-anak dan remaja yang mengalami GAP harus segera ditangani. (Lewinsohn, dkk., 2008). Bagaimana dengan kita, orang tua?

SAYA NGGENDONG KARENA SAYA SAYANG…

Ada banyak cara untuk mengungkapkan rasa sayang dan perhatian kita kepada buah hati, tidak harus selalu dengan cara menggendongnya kemana-mana.

Saya pernah menjumpai seorang anak berusia 3 tahun dengan berat badan 25kg minta gendong sama ibunya dan dikewer-kewer kemana-mana. Saya ketemunya di Puskesmas sewaktu saya membawa anak saya untuk imunisasi. Anak itu rewel nggak mau turun. Hmmm… bagaimana pendapat anda?

Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk menunjukkan kasih sayang, antara lain dengan sentuhan di punggung/tangan, pelukan, elusan di kepala, mendongengkan cerita, mengajak beraktivitas bersama, kalau untuk bayi ya diajak bermain (dikudang, dililing; red_bhs Jawa).

AH, KEBIASAAN GENDONG KAN NANTI BISA HILANG SENDIRI

Dengan hukum probabilitas, jawabannya bisa iya, bisa juga tidak. Sebuah perilaku yang sudah menetap cenderung sulit untuk dimodifikasi apalagi jika tertanam sejak usia dini. Mungkin perilaku gendong bisa hilang, namun dampak psikis dari perilaku tersebut akan tercatat dalam memori anak, terutama jika sudah berkembang menjadi ciri kepribadian tergantung (dependent personality) seperti yang saya singgung di atas.

SO, daripada main tebak-tebak buah manggis tentang bagaimana nanti jadinya anak kita, lebih baik kita perlu belajar untuk peka sedari kini, bukan?

BERARTI NGGAK BOLEH NGGENDONG NIH?

Boleh. Saya berpendapat bahwa gendongan punya prinsip sama seperti obat. Harus ada dosis dan aturan pakai yang ketat. Pertama, karena kita berniat menanamkan jiwa mandiri dan nilai disiplin pada anak sedini mungkin, bukan? Kedua, jangan sampai perilaku yang kita atasnamakan kasih sayang justru menjadi bumerang bagi proses tumbuh kembang anak.

Bagi saya, gendongan adalah hak istimewa anak. Disebut istimewa karena tidak setiap saat ia berhak mendapatkannya. Ada saat anak memang butuh digendong, misalnya: saat ia sakit, saat ia menangis (ini pun harus dipertimbangkan mengantuk karena apa, silakan baca 10 Sebab Bayi Menangis), atau saat bepergian/jalan-jalan.

Intinya, kita harus bijak menerapkan perilaku ini.

Begitulah…

 

Sumber:

  • Dadds, M., Seinen, A., Roth, J. & Harnett, P. 2000. Early intervention for anxiety disorders in children and adolescents. Vol. 2 in R. Kosky, A. O’Hanlon, G. Martin & C. Davis (Series Eds.), Clinical approaches to early intervention in child and adolescent mental health. Adelaide: The Australian Early Intervention Network for Mental Health in Young People http://auseinet.flinders.edu.au/files/resources/auseinet/anxiety.pdf
  • Kok, Mun Ng & Smith, S.D. 2006. The Relationships between Attachment Theory and Intergenerational Family Systems Theory. The Family Journal: Counseling and Therapy for Couples and Families, Vol. 14(4): 430-440
  • Lewinsohn, P.M., Holm-Denoma, J., Small, J.W., Seeley, J.R., Joiner, T.E. 2008. Separation Anxiety Disorder in Childhood as a Risk Factor for Future Mental Illness. Journal of the American Academy of Child & Adolescent Psychiatry. Vol. 47 (5): 548-555, diakses melalui http://www.jaacap.com/pt/re/jaacap/abstract.00004583-200805000-00012.htm