The Butterflies

Kupu-kupu lucu ini adalah hasil karya terakhir yang saya kerjakan sewaktu liburan Natal kemarin 🙂 Lumayan lah yaa bisa ngobatin kangen sama kawat.. berhubung selama 2 minggu saya nggak sempat menyisihkan waktu bersama mereka.

Mengapa kupu-kupu? karena memang ada pesanan dari seorang kawan di fakultas, supaya saya membuat bros berbentuk kupu-kupu. Permintaannya sudah sejak awal bulan waktu sebelum saya pergi ke Surabaya untuk lokakarya HIMPSI waktu itu, tapi baru sempat dikerjakan kemarin.. Rasanya senang, malah sampai bikin 3 versi kupu-kupu 😀

the butterflies

Inilah ketiga kupu-kupu manis itu…

Nah akhirnya, yang dibeli oleh teman saya yang ini nih…

231220126238

Jadi masih ada sisa 2 kupu-kupu lagi yang masih saya simpan…

251220126282

dan yang ini…

251220126286

Ketiganya memang bernuansa putih-pink-ungu 😀 sangat girlie yaaa…

For details of my artworks, please visit my page at FB, Dei’s Gallery (www.facebook.com/Dei’sgallery) or please text me @081328763361 (Dei)

Thank you 😀

Masih sempatkah?

Hyyaaaaaa.. ini nih yang saya galaukan beberapa waktu terakhir, terkait dengan alokasi waktu untuk load pekerjaan yang bertambah 🙂
Pekerjaan baru sebagai junior lecturer itu sangat menantang! Benar-benar menuntut kemampuan adaptasi saya untuk diakselerasi! Jadi minggu pertama adalah minggu orientasi, masih perlu memperkenalkan diri kesana-kemari tentang siapa saya (mayoritas sudah banyak yang kenal sih) dan apa status saya sekarang… Continue reading “Masih sempatkah?”

Responding to stress

Nah, kalau kemarin saya sudah sedikit membahas tentang 4 tipe stress *menurut buku (yang) baru saya (pinjam): Psychology applied to modern life* nah sekarang akan saya lanjutkan ke topik berikutnya, yaitu tentang bagaimana merespon stress.

Cara manusia merespon situasi dan kondisi yang menimbulkan stress baginya itu sangat kompleks dan multidimensional. Sampai ada istilah yang disebut meta-emosi, yaitu emosi yang muncul saat merasakan suatu emosi akibat dari situasi/stimulus tertentu. hyaaa… terdengar ribet yah? Jadi, contohnya nih meta-emosi itu muncul ketika kita merasakan emosi sedih saat kita marah terhadap seseorang. Sedihnya ini bukan karena orang tersebut, tapi -misalnya, mungkin- karena kita merasa amarah kita menjadi destruktif.

Nah, emosi itu sendiri apa sih? Seringkali kita dengar orang mengatakan: “huh kejadian itu membuat aku emosi!” padahal sebenarnya “emosi” yang dia maksud adalah “marah”. Jadinya, seringkali terjadi salah pemahaman terhadap kata emosi. Nah, emosi itu adalah memang suatu konsep yang sangat luas dan cukup membingungkan, hingga para ahli pun kesulitan untuk mendefinisikan emosi secara sepakat. Sederhananya begini, emosi adalah sesuatu yang sangat kuat, suatu perasaan yang seringkali sulit untuk dikuasai/dikontol, yang diikuti oleh perubahan fisiologis. Jadi, emosi itu bukan hanya marah. Sedih, senang, bingung, cemas, takut, penasaran, bahkan galau.. itu juga emosi..

Nah, ketika menghadapi stress, akan ada 3 macam respon yang menyertai, yaitu respon emosional, respon fisiologis, dan respon perilaku. Yuk ah, dibahas satu per satu.

Respon emosional, yaitu respon yang berupa munculnya emosi-emosi tertentu ketika berada dalam situasi stress. Ada 2 macam bentuknya, yaitu emosi negatif dan emosi yang positif. Kenapa emosi negatif cenderung muncul pertama kali saat berada dalam situasi stress? itu karena secara intuitif, diri kita akan melakukan mekanisme pertahanan diri, untuk “menyelamatkan” diri dari hal yang tidak menyenangkan. Menurut Lazarus, respons emosi negatif yang umumnya muncul adalah: MARAH, CEMAS, TAKUT, SEDIH, dan BERDUKA. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada emosi lain yang muncul. Lazarus menambahkan, ada perasaan bersalah, rasa malu, iri, cemburu, dan juga muak/jijik.

Meskipun, disebutkan bahwa respons orang terhadap stress cenderung dalam bentuk emosi negatif, sebenarnya ada pula bentuk respon emosi positif yang muncul. Emosi positif ini muncul dalam proses lebih lanjut dari upaya individu yang bersangkutan untuk mengatasi situasi stress yang ia hadapi. Emosi positif akan bertahan lebih lama karena ia bersifat memberdayakan dan kemudian meningkatkan daya tahan/resiliensi seseorang terhadap stress. Hal ini yang seringkali tidak disadari oleh individu, karena ia terlalu terpaku pada sisi negatif stress dan respon negatif yang ia tunjukkan.

Nah, kalau individu terpake pada respon emosi negatif, bisa jadi stress akan menjadi lingkaran setan yang tidak berkesudahan. Kenapa? karena respon emosi negatif dapat merusak performa seseorang. Misalnya saja kecemasan. Ketika seorang cemas, ia kan mengalami kesulitan untuk berpikir fokus, bahkan pada orang-orang tertentu dapat membuat orang tersebut gagap dan atau mengalami blocking saat berbicara. Tentu saja hal ini akan secara signifikan berpengaruh pada penampilannya saat menjalani audisi atau wawancara pekerjaan, ya kan? Ketika ia -pada akhirnya- mengalami kegagalan, karena kecemasan yang tidak teratasi, ia akan masuk pada situasi stress yang baru yaitu frustrasi. Dan demikian seterusnya.

Selain respon emosional, respon selanjutnya yang muncul adalah respon fisiologis, yaitu yang dapat ditandai dari reaksi tubuh kita.

hyaaa.. kalau ngomongin respon fisiologis nanti nyambungnya sama sistem kerja organ tubuh, sistem hormon dan kelenjar, serta sistem syaraf. Agak ribet yah? Hhehehe bukan AGAK lagi, tapi SUPER ribet hehehehe.. namun demikian, bisa dipersingkat dan diperjelas seperti ini:

FISIK dan PSIKIS itu saling berkaitan. BADAN dan JIWA itu saling berkaitan. Kenapa? karena BADAN atau FISIK adalah rumah bagi JIWA atau PSIKIS. Maka dari itu pasti akan nyambung, kalau jiwa kita lagi sakit, katakanlah kita lagi sedih gitu ya.. pasti badan kita juga merasakan penurunan daya, misalnya jadi malas makan, malas beraktivitas, lebih senang diam, dst. Dan sebaliknya, ketika tubuh kita lagi sakit, misalnya flu atau migren gitu, pasti perasaan kita juga nggak enak, lebih murung, malas ketemu orang, malas di tempat keramaian, dst. Yang paling mudah lagi ditandai dari respon fisiologis ini yaitu dengan mengamati perubahan detak jantung, apakah konstan, melambat, atau malah menjadi lebih cepat. Lalu kemudian, dapat diperiksa juga produksi keringat, apakah kemudian muncul keringat dingin/gembrobyos, atau biasa-biasa saja. Nah, dua contoh itu yang paling mudah dikenali.

Nah, yang terakhir adalah respons perilaku. Respons bentuk ketiga, sesuai dengan namanya, terwujud dalam serangkaian gerakan dan perilaku yang mengarah pada upaya mengastasi stress. Pada umumnya, respons perilaku ini melibatkan upaya coping – coping refers to active efforts to master, reduce, or tolerate the demands created by stress.

Faktanya, coping ini juga bisa jadi “sehat” atau pun “tidak sehat”. Begini nih, ilustrasinya… Ketika anda mendapatkan nilai buruk saat ujian, apa yang anda lakukan: (1) anda akan belajar lebih giat pada semester berikutnya, (2) anda akan meminta bantuan pada senior atau tutor untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut mengenai materi yang dipelajari, (3) menyalahkan dosen anda karena menurut anda beliau tidak fair dalam memberikan penilaian, atau (4) tidak mengambil kelas beliau lagi /walk out. Kalau kita analisis di sini, 2 respons pertama tampaknya lebih sehat ya daripada 2 respons terakhir.

Nah, memang ya… cara masing-masing orang untuk merepons dan menghadapi -to cope with- stress itu berbeda-beda.. ada banyak faktor yang mempengaruhi 🙂

Diharapkan sih kita semua mau mulai mengenali diri kita agar kita nggak sampai terkena dampak dari stress. Tadi sih sudah sedikit saya singgung, misalnya yaitu menurunkan performa, kegagalan menyelesaikan tugas, selain itu juga bisa menyebabkan gangguan pemusatan perhatian, berkurangnya daya ingat dan konsentrasi, burn out -kelelahan yang teramat sangat- dan juga adanya trauma.

Harapannya sih, kita semua dapat mengatasi kondisi stress dengan sehat dan adekuat sehingga tetap dapat tampil prima ya prens!

Tetap semangat!! 😀

Stress and its effects

Saya menemukan sebuah buku bagus di perpustakaan fakultas dua hari yang lalu. Sebenarnya isi buku ini mirip dengan isi dari buku saya yang hilang entah kemana, karya James Calhoun dan Joan Ross Acocella, Psychology of Adjustement and Human Relationship.

the book cover

Nah, buku yang baru saya temukan kemaren itu berjudul Psychology Applied to Modern Life: adjustment to the 21st century (9th ed.) karya Wayne Weiten, Margaret A. Lloyd, Dana S. Dunn, dan Elizabeth Yost Hammer. Diterbitkan oleh Wadsworth Cengage Learning di Belmount, California, US. pada tahun 2009. Cek link ini untuk lebih detail: the book.

Nah *lagi*, yang mau saya cuplik dalam artikel ini adalah salah satu chapter yang menarik… ehmm sebenarnya semua chapter sangat menarik dan menggoda untuk dibahas, namun berhubung topik pada chapter 3: Stress and its effects ini sangat relevan dengan kondisi dan situasi yang saya hadapi sekarang, maka otak saya pun tampaknya merespon lebih cepat..hehehe..

Oke, lanjut..

Dalam buku ini disebutkan bahwa stress itu adalah suatu kondisi yang sangat wajar terjadi dan siapapun pasti mengalaminya. Yup! Itu benar sekali!

Stress as any circumtances that threaten or ARE PERCEIVED to threathen one’s well being and thereby tax one’s coping abilities.

Artinya kurang lebih begini ya, stress adalah suatu keadaan yang mengancam atau DIPERSEPSIKAN mengancam (oleh individu ybs) kesejahteraan -kondisi yang nyaman/well-being- dan oleh karenanya, menuntut kemampuan coping individu tersebut untuk menghadapinya…

Masihkah ada yang bertanya-tanya: COPING itu apaan sih? Hehehe, istilah coping dalam terminologi psikologi diartikan sebagai kemampuan untuk menghadapi situasi menekan (stressfull event). Asal katanya dari kata COPE. Agak sulit memang menerjemahkannya secara harfiah 🙂

Trus, kenapa ya itu saya kok menandai kata ARE PERCEIVED dengan huruf kapital? Hal ini berkaitan dengan penilaian terhadapa kondisi stress. Richard Lazarus adalah salah seorang tokoh psikologi yang fokus meneliti tentang stress, coping, dan emosi pada manusia. Beliau dan kolganya, Folkman, membedakan penilaian stress primer dan stress sekunder.

Primary appraisal is an initial evaluation of wether an even is (1) irrelevant to you, (2) relevant but not threathening, or (3) stressful. When you view and event as a stressful, you’re likely to make a secondary appraisal, which is an evaluation of your coping resources and options for dealing with the stress.

Artinya nih.. “kacamata” individual kita berperan untuk menilai apakah suatu hal -bisa jadi keadaan, situasi, stimulus lainnya- yang muncul itu akan kita nilai sebagai kondisi stress atau tidak.. dan kita sendirilah yang kemudian menilai kemampuan kita untuk menghadapi stress itu, secara lebih spesifik yaitu dengan menentukan cara coping yang tepat.

Kalau ditarik ke kondisi saya sekarang nih, analisisnya seperti ini:

  • Penilaian primer: apakah saya melihat pekerjaan baru saya di fakultas ini sebagai hal yang menegangkan, membebani, menakutkan -dan seterusnya embel-ember menyeramkan lainnya?
  • Penilaian sekunder: saya akan menganalisis lebih lanjut apakah penilaian primer saya ini tepat? dan sejauh mana tingkat “menyeramkannya”? sekaligus bagaimana saya dapat mengatasi atau menghadapi kondisi ini?

Nah, untuk bisa menilai suatu situasi itu “benar-benar ” mengancam atau tidak, ada baiknya kita bahas sedikit tentang: Major Type of Stress. Dalam buku ini, disebutkan ada 2 kategori besar: acute stressor dan chronic stressor.

Acute stressor are threathening events that have a relatively short duration and a clear endpoint. Chronic stressor are threathening events that have relatively long duration and no readily apparent time limit.

Gampangnya begini, stressor akut itu datangnya tiba-tiba, dalam waktu yang singkat, dan penanganannya lebih jelas. Misalnya, ketika anda tinggal di daerah pesisir dan mengkhawatirkan akan datangnya gelombang tsunami, atau ketika anda pulang kerja larut malam dan takut dicegat preman mabuk di jalan. Sedangkan stressor kronis adalah situasi stress yang terjadi berlarut-larut, dalam jangka waktu yang relatif lama, dan penanganannya masih sulit untuk ditemukan. Misalnya nih: ketika anda berada di lingkungan kerja di mana atasan cenderung otoriter dan tidak suportif, ketika anda terlibat hutang dengan bank, atau ketika anda atau anggota keluarga anda mengidap penyakit terminal seperti kanker. Dampak dari stressor kronis ini pun cenderung dalam jangka waktu yang panjang karena akan memperngaruhi banyak aspek lain dalam kehidupan ybs.

Sebenarnya, para ahli pun masih mengalami perdebatan tentang klasifikasi stress. namun demikian penulis buku ini, menyimpulkan bahwa ada 4 tipe stress, yaitu frustrasi, konflik, perubahan, tekanan.

Frustation occurs in any situation in which the pursuit of some goals is thwarted. Artinya gini nih, frustrasi itu muncul bila tujuan yang kita sasar itu tidak tercapai, gampangnya nih, ada perasaan kecewa, dongkol, sebel, menyesal, dan atau bahkan self-blame alias menyalahkan diri sendiri. Intinya, frustasi itu muncul pas kamu pengen sesuatu tapi nggak bisa mencapai itu. Frustrasi yang berkepanjangan dapat mengarah pada hilangnya kesejahteraan hidup seseorang.

Conflict occurs when two or more incompatible motivations or behavioral impulses compete for expression. Konflik itu munculnya ketika kita berada di “persimpangan” alias harus mengambil keputusan, alias bimbang bin galau hehehe.. pertanyaan yang sering muncul biasanya sih “Iya nggak ya??” “Should I or shouldn’t I?”

Live changes are any noticeable alterations in one’s living circumtances that require adjustment. Nah, ini nih kayaknya yang paling relevan dengan kondisi saya nih! 🙂 Nah, perubahan dalam hidup menjadi kondisi stress meskipun perubahan yang terjadi adalah perubahan positif, misalnya begini: (dalam kasus saya ya) mendapatkan pekerjaan yang prosepektif menjadi stressor karena saya harus beradaptasi dengan lingkungan kerja baru, tugas-tugas baru, dan rutinitas baru yang tidak hanya melibatkan saya namun juga seluruh anggota keluarga saya. Jadi, bukan dapat kerjanya yang menjadi stressor, namun perubahan AKIBAT dari mendapatkan pekerjaan baru itu lah yang menjadi stressor

Pressure involves expectation or demands that one behave in certain way. Artinya, kondisi tekanan itu dihadapi invvidu bila ia memperoleh tuntutan atau harapan dari pihak lain yang dibebankan padanya, biasanya sih dari figur yang lebih berkuasa, misalnya orang tua atau atasan. Bisa juga pasangan yang lebih dominan.

Bahasannya sebenarnya masih panjang.. saya lanjut di bagian 2 aja yaaa.. takut malah jadinya membingungkan 🙂 Oke, saya istiharat makan siang dulu 🙂