Teka-teki


Hidup adalah teka-teki ya, Kawan..

Seperti aku yang tidak pernah bisa menebak cerita hidupku akan berlanjut seperti apa hari ini. Kau tahu, aku mulai setuju dengan komentar seorang kawan saat membaca tulisanku disini. Dia berkata, “Kamu terlalu lugas menyampaikan isi pikiran dan perasaanmu. No surprise.” Well, lantas aku harus bagaimana? Berpura-pura? Aku tidak suka berpura-pura. Tapi ya, aku pun malu mengakui betapa tulisan-tulisanku setahun lalu terlalu memujamu. Apakah aku benar begitu?

Pertanyaan besarku, “Siapa kamu?”

Astagaaa… pongahnya aku sekarang yaaa…

Tidak terpikirkan untuk menulis surat ini beberapa bulan lalu saat kita berbaikan untuk kesekian kalinya. Well, aku lebih tepatnya. Untuk kesekian kalinya membuka kesempatan untukmu. Dengan mengalahkan diriku.

Aku paham betul, tantangan terberat dalam diri kita adalah untuk bisa memaafkan diri kita sendiri. Setidaknya, dalam kasusku, seperti itu. Aku merasa diriku yang lalu begitu konyolnya mempertahankanmu dengan keyakinan “entah”ku tentang adanya kebaikan dalam dirimu.

Ya. Keyakinan yang bagus. Empowering. For you, I assume. Tapiiii…untuk menjadikanmu pasanganku, tak cukup berbekal keyakinan itu. Pun keyakinan itu lah yang membuatku sangat patah hati sekarang. Aku begitu naif kemarin dengan berusaha mengabaikannya. Keras kepala adalah nama tengahku, memang ya.. haha

Okelah. It happened. Friends told me that your lack of respect to me is an essential issue in our relationship. Respect is beyond important. It is a MUST, Darling. And i didn’t get it enough from you. That’s bad, Love. It shouldn’t be like this. So, maybe this time is up. I need to let you go. I hold myself for not begging you to stay anymore. If you wanna leave, just go.

Aku akan mengobati lukaku. Tidak ada yang salah dengan percaya. Hanya saja, mungkin aku memberikan kepercayaanku pada orang yang tidak tepat. Kawan, masa kita sejalan sudah habis. Lanjutkan perjalananmu tanpa aku. Kita akan menjadi lebih baik dari hari ini ketika kita mau belajar, dan darimu aku belajar untuk ikhlas. Sayang sekali, kau mengajarkanku itu dengan serangkaian pressure test-mu yang sungguh melukaiku. Namun, jika aku melihat gambar besarnya, apapun itu, tetap membuatku belajar. Ya kan? Jadi, sekarang fokusku benar-benar untuk menerima seluruh perjalanan denganmu sebagai bagian perjalanan hidup yang mengayakanku, Kawan.

Aku menyayangimu. Selalu.

Hanya saja, tak lagi sebagai aku yang dulu.

Kali ini dan selanjutnya, keras kepalaku harusnya tentang aku. Tentang bagaimana aku perlu lebih banyak mencintai diriku sendiri sebelum memberikan cintaku pada siapapun di luar sana.. aku harus keras kepala mewujudkan kebahagiaanku dari dalam diriku sendiri. Tanpa bergantung pada remah-remah cinta yang ditawarkan secara semu oleh mereka yang bahkan tak tahu atau tak peduli tentangku.

Teka-teki hidup akan terus berlanjut, Kawan. Aku pun sedang menyiapkan langkahku agar lebih tegap menghadapi kejutan-kejutan di depan sana.

Semoga kau bahagia dengan jalan pilihan yang kau tempuh.

Sampai bertemu lagi di persimpangan berikutnya.

Jika kita punya kesempatan.

Ijinkah aku menuliskan surat lainnya untuk diriku sendiri..

“Girl, you trust without building walls. You love as if you’ve never been hurt. And you give without expecting anything in return. You are beautiful, darling… but that’s how you get your heart broken. This is how you get scars im your heart. Be kind to your self, from now on.”

Leave a comment