Konseling Caten: Sebaiknya tidak sekedar menjadi kegiatan prosedural semata


*Wuuuu… judulnya panjaaaaang sekali :)*

Empat tahun yang lalu, sewaktu saya masih praktek kerja profesi di Puskesmas, saya mendapati tugas untuk melakukan konseling calon penganten… bahasa kerennya PREMARITAL COUNSELING.

Sampai sekarang program tersebut masih dilaksanakan di setiap unit Puskesmas di wilayah Kabupaten Sleman dan Kotamadya Yogyakarta *setahu saya sih…*

Menurut saya, konseling caten itu penting banget lho…

Tapiiiiii… seringkali respon dari caten yang pernah saya temui waktu itu adalah: CUEK, MERASA NGGAK BUTUH, MALES, OGAH-OGAHAN… Masuk ke ruang psikolog hanya demi mendapatkan acc dari psikolog bahwa mereka boleh melanjutkan tahap prosedural berikutnya ke KUA.

BLEH!

Mereka nggak sadar betapa pentingnya persiapan psikologis untuk memasuki jenjang pernikahan. Tugas psikolog adalah sebagai fasilitator, sehingga peran aktif mereka lah yang justru sangat diperlukan dalam proses konseling.

Saya maklum. Mereka baru sekian menit bertemu dengan psikolog dan tentunya tidak terbiasa berhadapan dengan profesional seperti psikolog. Dalam hal ini, ketidaktahuan mereka tentang profesi dan jasa yang ditawarkan oleh psikolog, memiliki andil yang cukup besar membuat mereka enggan melakukan konseling pranikah.

Nah!

Saya tidak mengupdate data statistik mengenai permasalahan rumah tangga, angka perceraian, atau angka perselingkuhan yang terbaru, namun berdasarkan pengamatan saya pada beberapa subjek, mengarahkan saya pada sebuah kesimpulan prematur bahwa:

Pasangan suami-istri saat ini cenderung tidak memahami konsep pernikahan yang sebenarnya, selain legalitas seks.

Perlu dilakukan penelitian mendalam tentang hal ini, seperti halnya penjabaran definisi konseptual yang mendetail tentang beberapa istilah yang saya gunakan, termasuk mengenai proses sampling dan metode pengambilan data yang digunakan.

Lepas dari pembahasan topik ini dari sisi ilmiah, kita dapat mulai berpikir tentang hubungan kita -our relationship- dengan pasangan. Beberapa pertanyaan yang dapat kita sampaikan pada diri kita sendiri:

  1. Apakah kita mencintai pasangan kita?
  2. Apa itu cinta?
  3. Apakah cinta itu sama dengan ketergantungan -dependency- dan kelekatan -attachment-?
  4. Apakah kita mengenal dengan baik siapa diri kita?
  5. Apakah kita mengenal dengan baik siapa pasangan kita?
  6. Apakah kita adalah penuntut?
  7. Apakah kita pernah membandingkan pasangan dengan orang lain? Mengapa hal itu sampai terjadi?
  8. Apakah kita pernah berbuat curang -cheating on- pada pasangan? Mengapa itu terjadi?
  9. Apakah harapan kita pada pasangan? Apakah itu realistis? Puaskah kita pada hubungan yang ada selama ini?
  10. Apakah kondisi keuangan, pembagian kerja, posisi tawar dalam keluarga berpengaruh pada hubungan dengan pasangan?

***

Saya pikir, ini penting!

Penting untuk dijadikan bahan evaluasi, baik oleh pasangan yang hendak menikah maupun yang telah menikah.

Perlu diingat, bahwa menikah tidak hanya membutuhkan CINTA, tapi lebih dari itu, menikah adalah sebuah KOMITMEN SEUMUR HIDUP untuk BERBAGI kehidupan dengan seseorang yang telah kita pilih untuk menjadi SAHABAT kita, PARTNER dalam segala hal. Cinta yang sehat adalah cinta yang menginjinkan kita untuk terus BERTUMBUH sebagai individu yang lebih baik, bukan sebaliknya 🙂

 

One thought on “Konseling Caten: Sebaiknya tidak sekedar menjadi kegiatan prosedural semata

Leave a comment