Local Wisdom = Ndeso?

Nah… sebenarnya lama sudah saya ingin menulis tentang hal ini…baru terrealisasi sekarang yaa.. tentang local wisdom alias kearifan lokal atau bisa dibilang juga adat istiadat.

Dalam terjemahan bebas saya, adat adalah kebiasaan yang melekat pada suatu masyarakat dan telah mendarah daging menjadi kultur/budaya. Semacam peninggalan nenek moyang, begitu…namun peninggalan yang tidak berwujud barang/bangunan, melainkan sebuah tata nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat yang bersangkutan.

Kebetulan, saya terlahir dalam masyarakat Jawa modern. Mengapa saya sebut modern? Karena pada masa saya tumbuh berkembang, budaya pop modern lah yang semakin berkembang mengikis budaya Jawa itu sendiri. Kalau di daerah saya, hal ini terkait dengan semakin banyaknya warga yang merantau ke luar daerah bahkan ke luar negeri dan ketika mereka kembali, yang terjadi adalah akulturasi budaya besar-besaran.

Banyak kebiasaan masyarakat yang bergeser.

Salah satu yang membuat saya heran setengah mati adalah budaya ibu menyusui.

Yang ngetren sekarang adalah bayi “menyusu” sapi alias minum susu formula, hanya karena prestise berdasarkan harga susu formula. Hmmm…tentunya anda pernah melihat iklan susu formula di tv? Itu lho, banyak yang bilang bisa bikin anak pinter, banyak akal, sehat, percaya diri, dan bla..bla..bla… dan muncul anggapan, semakin mahal susu, semakin manjur khasiatnya (nah lho! emangnya obat?).

Padahal yaa…sejak dulu, para tetua menganjurkan ibu menyusui bayinya sendiri lho, full 2th malahan, nggak pake istilah menyusui eksklusif yang 6 bulan saja itu…

saya sekarang sedang menyusui…

wuiiihh memang berat…apalagi harus sering bangun malam hari, mengikuti jam tidur bayi yang tak tentu, duduk menyusui sampe punggung pegel-pegel, tangan ngilu, peyut laper (habis menyusui langsung kelaperan hihihihi)…

Daaaan…keluarga besar saya termasuk orang Jawa yang ndeso, banyak kali lah aturannya! Saya harus njaga bener-bener itu asupan makanan…nggak boleh ini, nggak boleh itu, harus begini, harus begitu…

  • Wuwung… yang namanya wuwung adalah mandi pagi (lebih tepatnya subuh) byur byur pake air dingin, langsung dari atas kepala sampai ujung kaki, sambil cuci mata. Katanya, tradisi ini melancarkan air susu dan membersihkan mata.
  • Tarak… tarak adalah istilah untuk menjaga makan. Pilih-pilih makanan gitu… sebenarnya bukannya pelit atau apa, tapi saya sendiri membuktikan, menjaga makanan secara kualitas dan kuantitas, (insyaallah) membuat saya merasa lebih fit. Air susu juga tidak berlebihan.. ah, njaga makan gitu juga masih sering nyembur-nyembur air susunya… banyak yang bilang, nggak perlu kayak gitu
  • Bengkungan… bengkung adalah kata lain untuk stagen, wajib pake stagen kalau saya nggak mau diomelin habis-habisan… katanya sih biar perut saya singset 😀 panjangnya 10 meter… hmm tapi sekarang saya juga sudah merasakan manfaatnya lho, padahal perawat dan dokter bilang itu nggak perlu…tapi kayaknya mereka juga ga peduli perut saya jadinya nanti seperti apa.
  • Jamu… nah yang ini nih, banyak yang menentang…takut ini-itu…padahal sekarang banyak digembar-gemborkan untuk hati-hati dan rasional dalam mengkonsumsi obat…dan obat herbal jadi semakin populer. Ibu saya sendiri yg meracik jamu dari toga rumah kami. Hmm..sebuah keterampilan yg ingin saya warisi dari beliau.

Nah… bagi saya, selama saya nyaman dan merasakan manfaatnya, saya kira sah-sah saja… saya nggak peduli disebut ndeso, haahahahaa…

Jadi, sebenarnya, menurut saya, daripada menilai, lebih baik kita pelajari ilmu warisan nenek moyang ini. Saya yakin, ada banyak hal yg tersembunyi di balik simbol-simbol budaya Jawa yg sayangnya sekarang cenderung terabaikan tergilas budaya modern yg semakin menjamur. Padahal, menurut saya (lagi) kearifan lokal merupakan hasil penelitian longitudinal dengan sampel yg sudah tak terhitung jumlahnya, yg dilakukan oleh nenek moyang kita. Somehow, we should apreciate it.